Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pembagian Najis Disertai Dalil

Klasifikasi Najis - Secara umum najis dibagi menjadi tiga, yaitu najis mukhoffafah, mutawassithah, dan mugalladhah. Mekanisme menghilangkan najis juga berbeda-beda, sesuai jenis najis.

1.    Mukhaffafah (Ringan) 
Yaitu najis air kencing bayi laki-laki yang belum berumur dua tahun serta hanya mengkonsumsi air susu ibu sebagai makanan pokoknya. Dinamakan mukhaffafah (ringan), karena syari’at telah memberikan keringanan hukum menghilangkan najis tersebut.
Mekanisme menghilangkan najis mukhaffafah, dimulai dengan menghilangkan najis dan sifat-sifatnya serta memercikkan air secara merata terhadap tempat najis, sekira air percikan melebihi ukuran tempat najis, meskipun tidak sampai mengalir.
Air kencing dihukumi, baik berasal dari anak kecil ataupun orang dewasa berdasarkan  Hadits Nabi  :

تَنَزَّهُوْا مِنَ الْبَوْلِ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ .)رواه البخاري(
“Basuhlah air kencing kalian semua karena faktor umum siska kubur disebabkan air kencing.” (H.R. Al-Bhukhâry)
Lafadhالْبَوْلُ  merupakan lafadh yang ‘âmm (umum), yang menunjukkan keumuman artinya, sesuai dalam kajian ilmu ushûl al-fiqh, bahwa lafadh yang  disertai al (ال  ) yang memiliki arti jenis akan menunjukkan arti yang umum. Sementara tidak ada Hadits lain yang mempersempit (takhshîsh) keumuman Hadits di atas, sehingga Hadits tersebut tetap memberikan kefahaman bahwa semua bentuk air kencing hukumnya adalah najis.
Namun walaupun semua air kencing hukumnya sama-sama najis, bukan berarti sama dalam mekanisme menghilangkannya. Mekanisme menghilangkan najis makhaffafah  lebih mudah, sebagaimana keterangan di atas. Hal ini berdasarkan pada sebuah Hadits mengenai cara mensucikan air kencing anak kecil yang masih dalam masa susuan :

يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُنْضَحُ مَنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ .)رواه الترمذي وغيره(
“Air kencing bayi perempuan dibasuh dan air kencing bayi laki-laki diperciki air.” (H.R. At-Tirmidzy & lainnya)
Dan juga Hadits berikut :

عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ إِلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَجْلَسَهُ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ حِجْرِهِ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ. (رواه البخاري)
“Diceritakan dari Ummu Qois bahwa ia datang menemui Rosûlullah . Dengan membawa anak kecil yang tidak mengkonsumsi (selain susu), kemudian ia meletakkan anak kecil tersebut di pangkuan Rosûlullah . Setelah dipangku oleh Beliau, anak kecil tersebut kencing di baju Beliau. Kemudian Beliau meminta diambilkan air, dan oleh Beliau air itu dipercikan ke bajunya, tanpa membasuhnya.” (H.R. Al-Bukhâry)

Hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhâry ini secara tersirat menunjukkan bahwa najis mukhoffafah hanyalah najis air kencing anak kecil laki-laki yang belum mengkonsumsi makanan pokok selain air susu ibu.


Pembagian Najis Disertai Dalil



2.    Mutawassithah  (Sedang)

Najis ini mencakup semua najis, selain najis mukhoffafah dan mugalladhah. Disebut Mutawassithah  (sedang), karena syari’at telah memberikan jalan tengah dalam mensucikannya, tidak terlalu ringan atau terlalu berat.
Tidak ada dalil khusus yang menyebutkan kreteria mensucikannya secara utuh, hanya saja Rasûlullah  pernah menjelaskan cara membasuh air kencing anak kecil perempuan yang sangat berbeda dengan cara mensucikan najis air kencing anak kecil laki-laki, sebagaimana disebutkan dalam Hadist di atas. Dan sudah maklum, bahwa air kencing anak laki-laki bukan termasuk najis mukhoffafah atau mugalladhah.
Najis mutawassithah  dibagi menjadi dua, yaitu hukmiyyah dan ‘ainiyyah  :
    Hukmiyyah   
Yaitu najis yang sudah tidak ada bentuk, warna, aroma dan rasanya. Disebut hukmiyyah, karena meskipun tanpa ada bentuk dan sifat-sifat najis, tempat yang terkena najis tetap dihukumi najis. Mekanisme mensucikanya ialah cukup dengan mengalirkan air sampai air basuhan melebihi ukuran tempat yang terkena najis.
    ‘Ainiyyah

Yaitu najis yang masih mempunyai salah satu dari bentuk, warna,  aroma dan rasanya. Mekanisme mensucikanya dengan dibasuh air sehingga najis dan sifatnya hilang.
Mekanisme mensucikan najis tersebut berdasarkan Hadits :

جَاءَتْ امْرَأَةٌ إلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : إِحْدَانَا يُصِيْبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ ؟ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّيْ فِيْهِ .)رواه البخاري ومسلم(
"Seorang perempuan datang menghadap Rasûlullah. Kemudian ia bertanya ;“Baju salah satu dari kami terkena darah haidl. Bagaimana sikap kami?” Rasûlullah . menjawab “ Digosok sekiranya sifat-sifatnya hilang. Setelah itu dibasuh, kemudian gunakanlah baju tersebut untuk shalat”(H.R. Al-Bukhâry & Muslim)

3.    Mughalladhah (Berat)

Najis ini adalah najis yang paling berat dibanding najis yang lain, sesuai dengan namanya. Najis mugholladlah ialah najis anjing, babi dan peranakannya, meskipun peranakan dengan hewan yang suci, seperti dengan kambing.
Mekanisme mensucikannya adalah dengan menghilangkan tempat yang terkena najis dari bentuk, dan sifat-sifatnya (warna, bentuk, dan aroma). Setelah itu dibasuh tujuh kali yang salah satunya dicampur dengan debu. Rasûlullah  Bersabda :

إذَاوَلَغَ الْكَلْبُ فِي الْإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ.)رَوَاهُ مُسْلِمٌ(
"Ketika anjing menjilati bejana, maka basuhlah tujuhkali dengan dicampuri debu pada awal pembasuhanya." (H.R. Muslim)
Secara teks, Rasûlullah  tidak menegaskan bahwa anijing adalah najis. Namun kalau kita kaji secara mendalam, secara tersirat perintah Beliau untuk membasuh bekas jilatannya mengindikasikan bahwa bekas jilatan terrsebut tidak mungkin dalam kondisi suci, melainkan dalam kondisi najis atau hadats. Sedangkan keberadaan hadats dalam hal ini tidak mungkin. Dengan demikian, perintah pembasuhan tersebut pastilah dikarenakan adanya najis. Pemahaman seperti ini didukung Hadits lain :

طُهُوْرُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ .(رواه مسلم)
"Sucinya bejana kalian semua ketika dijilati anjing adalah dengan dibasuh tujuh kali, yang pertama dicampuri dengan debu.".(H.R. Muslim)
Hewan babi disamakan dengan anjing dalam hal pembasuhan tujuh kali karena mempunyai ciri khas yang sama, yaitu tubuhnya sama-sama najis (najis 'ain), bahkan babi lebih buruk daripada anjing, karena babi tidak tidak boleh untuk dipeihara sama sekali dan sunah dibunuh meskipun tidak berbahaya, dan juga keharaman daging babi sangat tegas disebutkan dalam al-Qur’ân.
Namun menurut imam an-Nawawy, tidak ada dalil yang tegas mengenai hukum najis babi. Pendapat ini berbeda dengan pendapat imam al-Mâwardy yang mengatakan bahwa kenajisan babi secara tegas disebutkan dalam kitab suci. Allah  berfirman :

قُلْ لاَ أَجِدُ فِيْ مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوْحًا أَوْ لَحْمَ خِنزيْرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَحِيمٌ .(الانعام : 145 )
" Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-An'âm : 145)
Menurut imam al-Mâwardy, lafadh لَحْمَ خِنْزِيْرٍ أَوْ (atau daging babi) adalah seluruh bagian tubuhnya, bukan dagingnya saja, termasuk majaz mursal ; mengucapkan sebagian namun menghendaki keseluruhan. Dengan pola pemahaman seperti ini dapat disimpulkan, bahwa ayat di atas adalah dalil yang menunjukkan kenajisan seluruh tubuh babi. Hal ini didukung bahwa lafadh رِجْسٌ dalam ayat di atas meskipun secara bahasa hanya diartikan sebagai sesuatu yang menjijikan, namun secara syari'at diartikan sebagai sesuatu yang najis  .
Sudah disebutkan dalam awal pembahasan, bahwa cara menghilangkan najis mugalladhah adalah dengan dibasuh tujuh kali dengan dicampur debu pada salah satu pembasuhan. Hanya saja, dalam dalam hal ini terdapat dua redaksi Hadits yang berbeda. Menurut Hadits riwayat imam Muslim disebutkan :
أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Basuhan pertama (dicampur) dengan debu.”
Namun dalam Hadits riwayat imam Abû Dâwûd disebutkan :
السَّابِعَةُ بِالتُّرَابِ
“Basuhan yang ketujuh (dicampur) dengan debu.”
Dalam menghadapi dua redaksi yang kontras ini, ilmu ushûl fiqh sangatlah berperan. Dalam kajian usûl fiqh disebutkan, bahwa ketika terjadi kontradiksi antara dua dalil dan tidak bisa dikompromikan, maka kedua dalil tersebut tidak dapat digunakan pedoman dalam memutuskan sebuah hukum, karena tidak ada salah satu yang dianggap unggul  .

Post a Comment for "Pembagian Najis Disertai Dalil"