Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tafsir QS. Al-Isra’ (17) ayat 36: Taklid dan Pemilihan Presiden

 

Arini Jauharoh

Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

Universitas PTIQ Jakarta

arinijauharoh167@gmail.com


Sebagai agama rahmatan lil 'alamin tentunya Islam sangat menjunjung tinggi akal dan pemikiran kritisnya. Akan tetapi, justru dalam sebuah sejarah muncul berbagai praktik keagamaan yang dikenal lebih mengesampingkan akal dan lebih menjurus pada sikap taklid serta fanatisme yang berlebihan. Hal tersebut justru akan menimbulkan berbagai persoalan serta perpecahan di kalangan umat Islam. Taklid sendiri dapat dipahami sebagai suatu bentuk perilaku di mana seseorang mengikuti sebuah perintah atau menerima pendapat dari orang lain tanpa memiliki pemahaman terhadap suatu pemahaman tersebut dengan didasari dalil atau landasan hukum yang benar. Sedangkan dalam (KBBI) Kamus Besar Bahasa Indonesia, fanatik sendiri memiliki pengertian yaitu, suatu keyakinan untuk meyakini ajaran atau yang kuat dengan mengabaikan fakta dan argument yang benar dan nyata.

Namun, nyatanya fenomena ini telah banyak menimbulkan dampak negatif, mulai dari konflik antar keluarga, masyarakat, bahkan agama dengan adanya fenomena pemilihan presiden ini. Sebagai bukti, tidak sedikit grup whatsapp keluarga yang saling menyerang satu dengan yang lain guna menjatuhkan pasangan calon presiden yang dipilihnya, ujaran kebencian bertaburan di media sosial, berita hoax sengaja dibuat guna saling menjatuhkan paslon satu dengan yang lain. Fenomena tersebut terjadi karena sikap taklid terhadap sesuatu tanpa didasari dengan mencari kebenaran atau ber-tabayyun terlebih dahulu terhadap kebenarannya. Tidak hanya taklid saja, sikap fanatik buta juga berdampak besar pada fenomena tersebut.  

Sebagai umat Islam sudah seharusnya untuk kembali merujuk Al-Qur’an sebagai arah pulang yang paling tepat. Mentadaburi QS. Al-Isra’ (17): 36 merupakan solusi tepat dalam menjawab fenomena yang telah terjadi di atas:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan ditanya tentangnya (QS. Al-Isra’ (17): 36)

 

Larangan Taklid Terhadap Sesuatu Yang Tidak Diketahui Kebenarannya

Ayat ini secara jelas melarang umat Islam untuk bertaklid serta bersikap fanatik terhadap suatu keputusan tanpa didasari ilmu. Ayat tersebut mendorong untuk menggunakan akal dan hati dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam. Dalam menetapkan suatu keputusan umat muslim diharuskan untuk selektif dalam memilih. Dengan landasan QS. Al-Isra’ (17): 36 dijelaskan mengenai larangan taklid terhadap sesuatu yang tidak memiliki rujukan atau dalil, karena sikap taklid akan meniadakan keberadaan potensi akal, larangan fanatik berdasarkan hawa nafsu, serta umat muslim harus sadar bahwa penglihatan, pendengaran, dan hati sebagai alat seleksi dalam menetapkan suatu keputusan dan semua alat itu akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. kelak di hari kiamat.

Dalam kalimat وَلَا تَقْفُ  Menurut Hamka, kata wala taqfu mengandung arti jangan mengikuti jejak. Orang yang taklid biasanya tidak bisa mempergunakannya pertimbangannya sendiri. Terutama dalam beragama, orang yang taklid cenderung mencampurkan antara sunnah dan bid’ah karena dia sudah tidak bisa memfilter amalan-amalan tersebut. Itulah sebabnya kita wajib beragama dengan berilmu. (Yunan, 2004, 128). Sedangkan pada kalimat مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ memiliki arti sesuatu yang tidak diketahui atas kebenarannya, pengetahuan yang tidak didasari ilmu. Dan pada kalimat مَسْئُولًا memiliki arti pertanggungjawaban.

Setelah ditinjau dari berbagai sumber buku mengenai Asbabun Nuzul pada QS. Al-Isra’ (17): 36, penulis tidak menemukan latar belakang historis mengenai turunnya ayat ini.

Adapun munasabah QS. Al-Isra’ (17): 36, dalam ayat sebelumnya menjelaskan mengenai dua perintah yang harus ditunaikan oleh seseorang; Pertama, perintah dalam menyempurnakan takaran. Kedua, perintah menyempurnakan timbangan, maka hasil akhirnya akan lebih baik bagi seseorang tersebut.karena dengan demikian, seseorang akan mendapatkan pahala di akhirat dan terlepas dari azab yang pedih. Sedangkan pada ayat selanjutnya menjelaskan mengenai larangan berjalan seperti sikap orang yang sombong atau congkak. Karena di bawah seseorang adalah bumi, yang orang tersebut tidak sanggup membelahnya menggunakan tumit dan di atas terdapat gunung yang besar. Jadi korelasi QS. Al-Isra’ (17): 36 dengan ayat sebelum dan sesudahnya ialah Allah memerintahkan umatnya untuk mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya di dunia dan perintah terhadap penyempurnaan dalam takaran dan timbangan, serta larangan berlaku sombong dan taklid, sebab pendengaran, penglihatan, dan hati setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat atas apa yang telah dilakukannya di dunia.

Menurut penjelasan Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah mengatakan bahwa, saat seseorang berada diposisi untuk mengambil suatu sikap baik itu menyatakan atau membantah sesuatu jika tidak didasari dengan pengetahuan maka ia tidak diperbolehkan untuk melakukannya, jangan pernah malu untuk berkata “aku tidak tahu” jika memang tidak mengetahuinya, sebab semua itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban Ditambahkan lagi penjelasan dalam ayat ini, ia mengatakan bahwa ayat tersebut ditujukan untuk orang per orang untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi apa yang tidak sejalan baginya. Dijelaskan bahwa ayat ini memiliki pesan “janganlah mengikuti suatu apapun yang engkau tidak ketahui tentangnya”. Yaitu larangan berkata tentang apa yang tidak engkau ketahui, larangan mengaku tahu apa tidak engkau ketahui, larangan mengaku mendengar apa yang tidak engkau dengar. Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati merupakan alat-alat pengetahuan. Masing-masing dari ketiga alat pengetahuan itu akan ditanyai mengenai bagaimana seorang pemilik menggunakannya semasa ia masih di dunia. Quraish Shihab juga mengatakan bahwa ayat ini merupakan tuntunan universal. Nurani manusia, dimanapun dan kapanpun akan menilai dirinya baik dan akan menilai lawannya sesuatu yang buruk. Oleh karena itu, dengan menggunakan bentuk kata tunggal akan mencakup setiap pribadi masing-masing orang sebagaimana nilai-nilai di atas diakui oleh nurani setiap orang. (Shihab, 2014, 86-87)

Sedangkan Sayyid Qutb dalam kitabnya Fi Zhilalil Qur’an menjelaskan bahwa ayat di atas mengandung perintah agar hati dan akal tetap lurus di atas manhaj Islam, agar tidak ada lagi ruang tumbuhnya khayalan, ilusi dan khurafat dalam dunia akidah (ideologi), perintah agar bersifat klarifikatif dalam beramal dan menerima informasi. Selain itu, dalam ayat tersebut mengandung larangan bagi umat muslim dalam mengikuti sesuatu yang belum diketahui secara pasti kebenarannya, baik orangnya maupun ilmunya. Karena menurut Sayyid Qutb, suatu amanat akan dimintai pertanggungjawabannya  atas setiap manusia dan akan ditanyakan juga terhadap anggota tubuhnya, seperti pancaindra, akal, dan hati yang keseluruhannnya telah dianugerahkan oleh Allah Swt. (Sayyid Qutb, 2003, 257)

Sependapat dengan Az-Zuhaili namun lebih terperinci lagi. Mengenai ayat tersebut Az-Zuhaili mengatakan bahwa dalam ayat tersebut mengandung beberapa larangan, diantaranya; larangan mengambil suatu keputusan berdasarkan apa yang tidak diketahui secara benar dan tidak bersandar pada dalil, larangan taklid, larangan beramal mengikuti hawa nafsu, larangan membuat kesaksian palsu, larangan berkata-kata bohong atau dusta, larangan menuduh menggunakan tuduhan paslu, larangan menghakimi seseorang berdasarkan prasangka (dhan), larangan memalsukan informasi, dan larangan berbicara tanpa landasan ilmu. Karena pemiliknya akan ditanyai mengenai pendengaran, penglihatan, dan hati kelak di hari kiamat, serta kelak semua mediator akan ditanya oleh Tuhan tentang pemiliknya. (Az-Zuhaili, 2005, 91)

Pendapat yang serupa dikatakan oleh Ibnu Katsir, ia mengatakan bahwa dalam ayat tersebut mengandung beberapa larangan yang telah ditetapkan oleh Allah, seperti; larangan menuduh seseorang jika tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, larangan memberikan kesaksian palsu, larangan berkata-kata dusta, larangan mengatakan sesuatu berdasarkan prasangka, perkiraan, dan khalayan. Karena setiap hamba akan ditanya pada hari kiamat tentang tiga nikmat (pendengaran, penglihatan, dan hati) untuk apa semua dipergunakan. (Ibnu Katsir, 2006, 372-373)

Dari keempat penafsiran di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa dalam pemaknaan atas larangan-larangan semuanya memiliki pendapat yang serupa. Namun dalam memaknai pendengaran, penglihatan, dan hati keempat mufassir memiliki pandangan yang berbeda. Quraish Shihab memaknainya sebagai alat berpengetahuan, tidak jauh berbeda dengan yang dikatakan Az-Zuhaili yang dimaknai sebagai mediator, Sayyid Qutb memaknainya sebagai amanat yang telah diberikan Allah kepada setiap manusia, dan Ibnu Katsir mengartikannya sebagai nikmat.

Seiring berjalannya waktu, teknologi semakin berkembang, begitupun dengan ilmu pengetahuan. Banyaknya fasilitas yang dimiliki oleh umat pada era modern ini seharusnya bisa digunakan sebagai alat analisis, alat seleksi, dan media dalam mencari kebenaran dan mengakses banyak ilmu. Namun, yang terjadi saat ini adalah sebaliknya. Kecanggihan teknologi lebih banyak digunakan sebagai alat penyebar hoax, media pemecah belah umat dan kerugian-kerugian lainnya akibat penyalahgunaan kecanggihan teknologi dan berkembangnya pengetahuan.

Jika dikontekstualisasikan pada masa kini ayat ini memiliki pesan bahwa, Allah melarang kita untuk mengambil suatu keputusan tanpa didasari dalil, larangan taklid, larangan beramal mengikuti hawa nafsu, larangan membuat kesaksian palsu, larangan berkata-kata bohong atau dusta, larangan menuduh menggunakan tuduhan paslu, larangan menghakimi seseorang berdasarkan prasangka (dhan), larangan memalsukan informasi, dan larangan berbicara tanpa landasan ilmu.

Sebagai contoh, dalam era modern ini media sosial dan informasi telah digunakan sebagai rujukan utama dalam mencari kebenaran oleh sebagian besar kaum gen Z. Namun dalam prosesnya tidak sedikit dari mereka yang justru terjebak dalam lingkup yang tidak benar atau bisa dikatakan terkena berita hoax. Mudahnya percaya dan tidak mau mencari tahu akan fakta sebagai masalah utama saat ini. Banyak berita bohong yang membodohi publik hingga dengan mudah mereka menjadikannya sebagai dasar atau rujukan dalam berbicara. Penyebar dan peberima berita hoax memiliki bentuk kesahalan yang serupa. Sebagai umat muslim yang berintegritas tinggi seyogyanya kita lebih pintar lagi dalam mengambil rujukan dalam bericara untuk didiskusikan kepada orang sekitar kita. Sebagai contoh yang baru saja terjadi dalam negeri ini yaitu pemilihan presiden. Banyak dari masyarakat yang taklid dengan mengikuti sesuatu yang tidak ada proses analisa dalam penetapannya serta fanatik buta atas apa yang telah dipilih tanpa mencari tahu kebenarannya. Perilaku demikian seharusnya dihindari, mengingat kita sebagai umat muslim yang memiliki ilmu dan pengetahuan. Karena dalam kalimat terakhir dalam ayat tersebut terdapat peringatan akan pertanggungjawaban atas pendengaran, penglihatan dan hati bagi setiap individu. Sebagai umat muslim yang berintergritas tinggi kita dianjurkan untuk tidak terpengaruh oleh apa yang menurut Allah tidak benar.

Jika taklid dan fanatik menjadi kebiasaan umat, bagaimana mungkin umat Islam dapat menjawab tantangan dari kemajuan zaman yang melahirkan perubahan yang lebih baik. Sebagai konsekuensi dari anugerah Tuhan berupa akal yang merdeka. Taklid mengakibatkan kebekuan berfikir yang berimplikasi kepada kebekuan beragama dan pudarnya sinar agama. Kehidupan sosial, pemikiran, dan kebutuhan manusia ikut berubah sesuai dengan kemajuan zaman. Jika sudah tidak ada kesadaran umat dalam mencari ilmu dan pengetahuan, bagaimana bisa umat mempertahankan agama Islam dan mewujudkan keberkahan agama ini. Perlu diketahui bahwa kemajuan dan perubahan itu tidak lantas didapat dengan sikap yang hanya ikut-ikutan terhadap suatu keputusan tanpa berdasarkan ilmu.

Oleh karena itu, dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menghadapi suatu pilihan hendaknya kita mendahulukan akal, mengesampingkan sikap taklid dan fanatik, serta perlu ber-tabayyun akan sesuatu yang belum diketahui kebenarannya agar diperoleh satu pilihan berdasarkan fakta dan kebenaran. Wallahu a’lam.

Post a Comment for "Tafsir QS. Al-Isra’ (17) ayat 36: Taklid dan Pemilihan Presiden"